Oleh: Zhie
Al-gility*
Entah,
perasaan apa yang hinggap dihatiku setiap kali aku membaca karya-karyanya.
Seakan diri ini dibawa merantau ke negeri mimpi melalui melodi katanya yang
mengalun lembut menciptakan kedamaian tersendiri didalam jiwaku. Aku begitu
mengaguminya, mengagumi setiap karya-karya yang dia tulis. Meski aku tak pernah
mengenalnya.
Namanya Aufar
Shalahan Hirzi, dia adalah seorang penulis muda berbakat. Karya-karyanya sudah bertebaran
diberbagai media. Tak ada satu karyanya yang kulewatkan. semuanya sudah masuk
dalam daftar koleksiku. Aku selalu membayangkan, bahwa akulah tokoh yang ada
dalam setiap novelnya, Nabila. Nabila yang menurutnya adalah sosok gadis
sholehah akhir zaman, yang menghiasi lidahnya dengan tutur bahasa yang santun,
yang memolesi bibirnya dengan senyum keikhlasan, yang menghiasi tangannya
dengan sering membantu orang yang kesusahan, yang menghiasi telinganya dengan
mendengarkan Kalam Allah. Yang menghiasi kakinya ke jalan yang di Ridhoi Allah.
Subhanallah… benar-benar gadis impian. Andaikan itu aku… Namaku memang Nabila.
Tapi aku bukanlah Nabila yang digambarkan oleh Kak Aufar. Aku, Nabila yang
masih penuh dengan kekurangan. Nabila yang masih belum bisa menjaga lisannya,
menjaga tangan dan kakinya, menjaga telinganya dari hal-hal yang dibenci Allah.
Tapi aku akan berusaha untuk mensholehahkan diriku, agar aku pantas bersanding
dengan sosok sholeh seperti Kak Aufar.
Tak bisa
kupungkiri, rasa yang kupunya untuk Kak Aufar bukan hanya rasa kekaguman
belaka. Tapi juga rasa yang aku sendiri tak tahu harus mendefinisikannya. Ia
terlalu indah untuk dibahasakan. Dan biarlah hanya aku dan Allahku yang tahu.
Karena hanya Dialah yang aku percaya. Meski aku sadari, Kak Aufar tak pernah
merasakan kehadiranku. Namun, aku takkan pernah lelah mengaguminya. Takkan
pernah lelah untuk selalu mendo’akan setiap kebaikan untuknya. Takkan pernah
lelah meminta, semoga dialah yang tertulis di Lauhul Mahfudz untukku. Dan aku
percaya, semuanya tak ada yang sia-sia.
***
Cinta itu adalah keputusan.
Keputusanku untuk mencintai seseorang yang tak pernah kukenal dalam kehidupan
nyata. Terkadang begitu sakit kurasa. Saat aku menyadari bahwa aku dan dia
terpisah oleh sekat yang begitu tebal. Sekat yang tak mungkin bisa kuterobos
dengan hanya berdiam diri dan menunggu keajaiban datang untuk membawanya
menjemput cintaku. Bagaimana mungkin dia akan hadir, jika bahkan kita tak
pernah mengenal satu sama lain. Kita hanya sempat berkenalan dalam ilusi, dalam
dunia mimpi tak bertepi. Lebih tepatnya dalam mimpiku, dalam duniaku. Bukan
mimpinya dan sangat jauh dari dunianya.
Tapi entah mengapa ada keyakinan dalam diri ini akan hadirnya. Dan
keyakinan inilah yang membawanya kesini, kehadapanku.
Seperti saat
ini. Dia berdiri didepan mimbar itu. Dengan senyum ketulusan yang terpancar
dari auranya yang rupawan. Mata elangnya seakan membius semua orang yang hadir
di ruangan ini. Sosoknya yang begitu bersahaja menambah kewibawaan dirinya.
Allah… begitu sempurna sosok yang Engkau ciptakan ini. Salahkah bila aku
mengaguminya? Berdosakah jika aku mencintainya? Pantaskah jika aku
memimpikannya menjadi imam dunia dan akhiratku kelak? Aku terus saja menatap sosok yang memakai
baju koko berwarna putih didepanku ini. Aku memandangnya penuh rindu. Yaa… karena
baru kali ini aku bisa melihatnya langsung di hadapanku. Tanpa kusadari
ternyata dia juga memandangku, dan aku kaget saat mata kami bertemu.
Kupalingkan pandanganku. Malu… ketauan orangnya karena telah mencuri pandang.
Dia tersenyum melihat tingkahku. Ahh, sungguh memalukan. Dan semua ini telah
berhasil membuat pipiku bersemu merah.
“Untuk lebih
jelasnya, saya serahkan langsung pada Sang Penulis… kepada Aufar Shalahan Hirzi
saya persilahkan untuk membedah novel ketiga belasnya yang berjudul Karena
Takdir Kita Sama.” Ucap moderator acara berhasil menyelamatkanku dari
suasana memalukan tadi. Pagi ini BEM Fakultasku memang mengadakan acara bedah
bukunya Kak Aufar. Dan ini adalah hal yang sangat kunantikan sejak dulu.
Ternyata bukan hanya aku saja, Kak Aufar memang banyak dikagumi oleh kalangan
Mahasiswa, terutama Mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya. Mereka begitu
kagum dengan gaya bahasa yang dipakai
oleh Kak Aufar. Menurut mereka Kak Aufar sangat pintar merangkai kata. Dan
rangkaian katanya sangat indah dan sastra banget. Bahasanya begitu santun dan
dia juga berhasil membawa pembaca seakan terlibat langsung dalam dunia
novelnya, Menciptakan imajinasi sendiri.
“Salam suci,
untuk jiwa yang bersih… Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”
Sapa Kak Aufar pada hadirin yang hadir dalam acara ini. Senyumnya tak pernah
lepas dari rupanya yang menawan. Sapaan itu seakan menjadi ciri khasnya. Dia
selalu mengawali novelnya dengan kalimat seperti itu di kata pengantar. Dia
selalu menganggap bahwa semua orang asalnya adalah fitrah. Adalah suci. Dan dia
ingin memberikan sugesti pada para pembaca untuk menyadari hal tersebut dan
kembali memfitrakan dirinya dengan selalu menebar kebaikan. Semua orang yang
begitu mempopulerkannya sangat paham akan sapaan ini. Kak Aufar menyampaikan beberapa hal yang
penting dari novelnya. Mulai dari alur cerita, setting, pengambilan klimaks,
hingga Ending. Dan banyak yang lainnya yang dia ceritakan terkait dengan
penulisan novel ini.
Kak Aufar
tidak sendiri. dia ditemani oleh dua orang pembanding yang siap membantai
karyanya. Tapi hal itu bukanlah menjadi masalah buatnya. Adanya pembanding,
malah membuatnya sangat senang. Karena dia bisa mengetahui kekurangan dan
kelebihan yang terdapat dalam novelnya. Sehingga dia bisa memperbaikinya
didalam karya selanjutnya.
Setelah sampai
disesi pertanyaan, ada salah satu peserta yang bertanya mengenai sosok Nabila
yang ada di dalam Novelnya. Pertanyaan yang sama yang selalu berkecamuk didalam
pikiranku.
“Apakah sosok
Nabila yang ada didalam novel itu adalah nyata? Sehingga penggambarannya terasa
begitu hidup.” Tanya perempuan yang memakai kerudung berwarna Pink yang duduk
didepanku. Kak Aufar hanya tersenyum menanggapinya sebelum kemudian dia
menjawab.
“Setiap karya
fiksi itu pasti tidak luput dari unsur imajinasi penulis. Sosok Nabila yang ada
didalam novel itu setengah nyata dan setengahnya imajinasi saya. Mengapa
penggambarannya terasa begitu hidup? Karena yang menjadi objeknya adalah
tunangan saya sendiri. Walaupun tidak sepenuhnya sifat-sifat yang ada
didalamnya adalah sifat yang dimilikinya. Itu hanya harapan saya kepada calon
ibu dari anak-anak saya kelak. Agar dia bisa menjadi wanita shalihah akhir
zaman seperti halnya wanita-wanita hebat yang menyertai Rasulullah.” Jawabnya yang
disambut riuh oleh para penonton. Tapi tidak halnya denganku. Remuk redam
rasanya mendengar semua itu. Laki-laki yang kuimpikan ternyata sudah menjalin
ikatan dengan wanita lain. Dan sepertinya Kak Aufar benar-benar mencintainya.
Allah… inikah akhir dari rasa ini?
Kulangkahkan
kakiku dengan gontai keluar ruangan. Tak ada gunanya lagi aku bertahan di
tempat ini. Itu hanya akan membuatku semakin sakit. Sudah cukup selama ini aku
berharap. Dia sudah tidak bisa lagi kujangkau. Kita telah benar-benar jauh,
sangat jauh. Terpisah bukan hanya karena tak saling mengenal, tapi juga karena
perasaan kita tak sama. Aku pasti ikhlas dan aku akan berusaha untuk ikhlas.
***
“Mendekatlah putriku…!” Ucap Abah
yang masih terbaring tak berdaya di ruang ICU. Aku benar-benar tak tega melihat
beliau dalam keadaan lemah melawan penyakit Bronkitisnya. Abah sering kali
kelelahan, beliau terkadang demam hingga sering kali muntah darah. Dan kemaren
penyakit abah kambuh lagi, dan membuat beliau harus dirawat di rumah sakit.
“Iya Abah…” Ucapku sembari
mendekatkan diri disisinya. Wajahnya tak lagi keras seperti biasanya. Aku baru
tersadar, bahwa dibalik kekerasannya ternyata Abah begitu rapuh.
“Abah sudah tidak punya banyak waktu
nak…” Gumam Abah sembari membelai kepalaku. Aku terisak disampingnya.
“Maukah kamu mengabulkan permintaan
Abah?” Tanya Abah padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Saat ini aku benar-benar
tak bisa mendebat Abah atas segala keinginannya yang aku sendiri belum mengetahuinya.
“Sebelum Abah menghadap Allah, Abah
ingin melihat kamu menikah dengan seseorang yang bisa menggantikan Abah untuk
menjagamu, melindungimu dan membahagiakan kamu Nak…”
Aku tak
menjawab. Dadaku terasa begitu sesak. Bayangan bahwa aku akan kehilangan Abah
benar-benar membuatku bungkam.
“Nanti malam, Abah akan menikahkanmu
dengan seorang pemuda yang abah percaya bisa menjagamu. Apakah Nabila siap?”
Tanya Abah. Jujur aku terkejut. Tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan
dihadapan Abah saat ini. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan apa yang Abah
inginkan. Jika hal itu bisa membahagiakan Abah, aku akan melakukannya. Meskipun
aku bahkan tak tahu akan menikah dengan siapa. Aku hanya bisa pasrah. Karena
aku yakin, apa yang dipilihkan Abah untukku itulah yang terbaik buatku. Ridhallah
fii Ridhal walidain… sudah saatnya aku berbakti.
***
Hatiku benar-benar tak karuan.
Antara hati dan pikiran saling berlawanan. Berkecamuk mengacaukan ketentraman. Aku
benar-benar resah. Diluar sana sedang ada seseorang yang mengucapkan janjinya
dihadapan Allah, dihadapan penghulu dan dihadapan kedua orang tuaku. Tapi
bahkan aku tak tahu siapakah nama orang yang akan menjadi Imamku dunia dan
akhirat. Siapakah orang yang akan kubaktikan seluruh jiwa dan ragaku? Allah… aku
pasrah atas segala takdir-MU.
Tok… Tok… Tok…
“Assalamu’alaikum…” Sapa orang yang
mengetuk pintu kamarku dengan lembut. Mempelaiku telah datang. Aku terdiam, tak
tahu harus menjawab apa. Aku takut dan aku tak siap. Tapi aku sudah menjadi
haknya.
“Wa’alaikumsalam…” Akhirnya kalimat
itu berhasil keluar dari kerongkonganku.
“Bolehkah aku masuk? Aku ingin menjumpai
Bidadari yang telah Allah ciptakan untukku.” Ucapnya lembut. Bahasanya begitu
santun. Dan hal itu membuat hatiku semakin
tak karuan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dada ini. melimpah
ruah…
“Masuklah…! Karena disinilah
tempatmu, dan segala isinya adalah milikmu.” Jawabku menanggapinya. Bahasa yang
begitu pas, aku sendiri bahkan tersipu mendengar kata-kata yang berhasil
kurangkai untuk menyambut pengantinku. Pintu itu perlahan terbuka. Kemudian
ditutup pelan-pelan. Aku tak berani melihatnya. Hingga dia yang sudah menjadi
suamiku berada tepat dihadapanku. Aku masih saja menundukkan kepala. Aku tak
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar malu. Baru kali ini aku berada
satu ruangan berdua dengan seorang laki-laki. Meskipun yang berada dihadapanku
adalah laki-laki yang halal bagiku. Aku hanya bisa tertunduk.
“Apakah dek Nabila tidak ingin
melihat, saiapakah suami dek Nabila yang sebenarnya?” Tanya dia. Perlahan aku
mendongakkan kepala. Dan aku benar-benar tertegun dengan apa yang aku lihat.
Sampai mataku tak bisa untuk berkedip. Subhanallah… kuasa-MU Ya Rabbi…
Aku melihatnya
didepanku, tersenyum. Cintaku benar-benar telah datang. Cintaku tak pernah
hilang. Dia saat ini ada dihadapanku. Sebagai suamiku. Tak ada anugerah yang
lebih indah, selain Anugerah di malam ini. Allah telah mengantarkan Kak Aufar
ke depan mataku. Sebagai Imamku. Malam yang kutakutkan telah berubah menjadi
malam penuh kebahagiaan. Dua hati ini telah menyatuh di malam yang begitu
syahdu. Allah benar-benar telah memeluk cinta kami. Beginilah takdir menyatukan
kami dalam ikatan suci yang selalu kuimpikan.
*Penulis adalah Alumni Annuqayah Daerah Latee, Cerpenis dan Bendahara LPM Solidaritas UINSA Surabaya.