Selasa, 17 Desember 2013

Allah Memeluk Cintaku

Oleh: Zhie Al-gility*
Entah, perasaan apa yang hinggap dihatiku setiap kali aku membaca karya-karyanya. Seakan diri ini dibawa merantau ke negeri mimpi melalui melodi katanya yang mengalun lembut menciptakan kedamaian tersendiri didalam jiwaku. Aku begitu mengaguminya, mengagumi setiap karya-karya yang dia tulis. Meski aku tak pernah mengenalnya.
Namanya Aufar Shalahan Hirzi, dia adalah seorang penulis muda berbakat. Karya-karyanya sudah bertebaran diberbagai media. Tak ada satu karyanya yang kulewatkan. semuanya sudah masuk dalam daftar koleksiku. Aku selalu membayangkan, bahwa akulah tokoh yang ada dalam setiap novelnya, Nabila. Nabila yang menurutnya adalah sosok gadis sholehah akhir zaman, yang menghiasi lidahnya dengan tutur bahasa yang santun, yang memolesi bibirnya dengan senyum keikhlasan, yang menghiasi tangannya dengan sering membantu orang yang kesusahan, yang menghiasi telinganya dengan mendengarkan Kalam Allah. Yang menghiasi kakinya ke jalan yang di Ridhoi Allah. Subhanallah… benar-benar gadis impian. Andaikan itu aku… Namaku memang Nabila. Tapi aku bukanlah Nabila yang digambarkan oleh Kak Aufar. Aku, Nabila yang masih penuh dengan kekurangan. Nabila yang masih belum bisa menjaga lisannya, menjaga tangan dan kakinya, menjaga telinganya dari hal-hal yang dibenci Allah. Tapi aku akan berusaha untuk mensholehahkan diriku, agar aku pantas bersanding dengan sosok sholeh seperti Kak Aufar.
Tak bisa kupungkiri, rasa yang kupunya untuk Kak Aufar bukan hanya rasa kekaguman belaka. Tapi juga rasa yang aku sendiri tak tahu harus mendefinisikannya. Ia terlalu indah untuk dibahasakan. Dan biarlah hanya aku dan Allahku yang tahu. Karena hanya Dialah yang aku percaya. Meski aku sadari, Kak Aufar tak pernah merasakan kehadiranku. Namun, aku takkan pernah lelah mengaguminya. Takkan pernah lelah untuk selalu mendo’akan setiap kebaikan untuknya. Takkan pernah lelah meminta, semoga dialah yang tertulis di Lauhul Mahfudz untukku. Dan aku percaya, semuanya tak ada yang sia-sia.
***
            Cinta itu adalah keputusan. Keputusanku untuk mencintai seseorang yang tak pernah kukenal dalam kehidupan nyata. Terkadang begitu sakit kurasa. Saat aku menyadari bahwa aku dan dia terpisah oleh sekat yang begitu tebal. Sekat yang tak mungkin bisa kuterobos dengan hanya berdiam diri dan menunggu keajaiban datang untuk membawanya menjemput cintaku. Bagaimana mungkin dia akan hadir, jika bahkan kita tak pernah mengenal satu sama lain. Kita hanya sempat berkenalan dalam ilusi, dalam dunia mimpi tak bertepi. Lebih tepatnya dalam mimpiku, dalam duniaku. Bukan mimpinya dan sangat jauh dari dunianya.  Tapi entah mengapa ada keyakinan dalam diri ini akan hadirnya. Dan keyakinan inilah yang membawanya kesini, kehadapanku.
Seperti saat ini. Dia berdiri didepan mimbar itu. Dengan senyum ketulusan yang terpancar dari auranya yang rupawan. Mata elangnya seakan membius semua orang yang hadir di ruangan ini. Sosoknya yang begitu bersahaja menambah kewibawaan dirinya. Allah… begitu sempurna sosok yang Engkau ciptakan ini. Salahkah bila aku mengaguminya? Berdosakah jika aku mencintainya? Pantaskah jika aku memimpikannya menjadi imam dunia dan akhiratku kelak?  Aku terus saja menatap sosok yang memakai baju koko berwarna putih didepanku ini. Aku memandangnya penuh rindu. Yaa… karena baru kali ini aku bisa melihatnya langsung di hadapanku. Tanpa kusadari ternyata dia juga memandangku, dan aku kaget saat mata kami bertemu. Kupalingkan pandanganku. Malu… ketauan orangnya karena telah mencuri pandang. Dia tersenyum melihat tingkahku. Ahh, sungguh memalukan. Dan semua ini telah berhasil membuat pipiku bersemu merah.

“Untuk lebih jelasnya, saya serahkan langsung pada Sang Penulis… kepada Aufar Shalahan Hirzi saya persilahkan untuk membedah novel ketiga belasnya yang berjudul Karena Takdir Kita Sama.” Ucap moderator acara berhasil menyelamatkanku dari suasana memalukan tadi. Pagi ini BEM Fakultasku memang mengadakan acara bedah bukunya Kak Aufar. Dan ini adalah hal yang sangat kunantikan sejak dulu. Ternyata bukan hanya aku saja, Kak Aufar memang banyak dikagumi oleh kalangan Mahasiswa, terutama Mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya. Mereka begitu kagum  dengan gaya bahasa yang dipakai oleh Kak Aufar. Menurut mereka Kak Aufar sangat pintar merangkai kata. Dan rangkaian katanya sangat indah dan sastra banget. Bahasanya begitu santun dan dia juga berhasil membawa pembaca seakan terlibat langsung dalam dunia novelnya, Menciptakan imajinasi sendiri.

“Salam suci, untuk jiwa yang bersih… Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Sapa Kak Aufar pada hadirin yang hadir dalam acara ini. Senyumnya tak pernah lepas dari rupanya yang menawan. Sapaan itu seakan menjadi ciri khasnya. Dia selalu mengawali novelnya dengan kalimat seperti itu di kata pengantar. Dia selalu menganggap bahwa semua orang asalnya adalah fitrah. Adalah suci. Dan dia ingin memberikan sugesti pada para pembaca untuk menyadari hal tersebut dan kembali memfitrakan dirinya dengan selalu menebar kebaikan. Semua orang yang begitu mempopulerkannya sangat paham akan sapaan ini.  Kak Aufar menyampaikan beberapa hal yang penting dari novelnya. Mulai dari alur cerita, setting, pengambilan klimaks, hingga Ending. Dan banyak yang lainnya yang dia ceritakan terkait dengan penulisan novel ini.

Kak Aufar tidak sendiri. dia ditemani oleh dua orang pembanding yang siap membantai karyanya. Tapi hal itu bukanlah menjadi masalah buatnya. Adanya pembanding, malah membuatnya sangat senang. Karena dia bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam novelnya. Sehingga dia bisa memperbaikinya didalam karya selanjutnya.

Setelah sampai disesi pertanyaan, ada salah satu peserta yang bertanya mengenai sosok Nabila yang ada di dalam Novelnya. Pertanyaan yang sama yang selalu berkecamuk didalam pikiranku.

“Apakah sosok Nabila yang ada didalam novel itu adalah nyata? Sehingga penggambarannya terasa begitu hidup.” Tanya perempuan yang memakai kerudung berwarna Pink yang duduk didepanku. Kak Aufar hanya tersenyum menanggapinya sebelum kemudian dia menjawab.

“Setiap karya fiksi itu pasti tidak luput dari unsur imajinasi penulis. Sosok Nabila yang ada didalam novel itu setengah nyata dan setengahnya imajinasi saya. Mengapa penggambarannya terasa begitu hidup? Karena yang menjadi objeknya adalah tunangan saya sendiri. Walaupun tidak sepenuhnya sifat-sifat yang ada didalamnya adalah sifat yang dimilikinya. Itu hanya harapan saya kepada calon ibu dari anak-anak saya kelak. Agar dia bisa menjadi wanita shalihah akhir zaman seperti halnya wanita-wanita hebat yang menyertai Rasulullah.” Jawabnya yang disambut riuh oleh para penonton. Tapi tidak halnya denganku. Remuk redam rasanya mendengar semua itu. Laki-laki yang kuimpikan ternyata sudah menjalin ikatan dengan wanita lain. Dan sepertinya Kak Aufar benar-benar mencintainya. Allah… inikah akhir dari rasa ini?

Kulangkahkan kakiku dengan gontai keluar ruangan. Tak ada gunanya lagi aku bertahan di tempat ini. Itu hanya akan membuatku semakin sakit. Sudah cukup selama ini aku berharap. Dia sudah tidak bisa lagi kujangkau. Kita telah benar-benar jauh, sangat jauh. Terpisah bukan hanya karena tak saling mengenal, tapi juga karena perasaan kita tak sama. Aku pasti ikhlas dan aku akan berusaha untuk ikhlas.
***
            “Mendekatlah putriku…!” Ucap Abah yang masih terbaring tak berdaya di ruang ICU. Aku benar-benar tak tega melihat beliau dalam keadaan lemah melawan penyakit Bronkitisnya. Abah sering kali kelelahan, beliau terkadang demam hingga sering kali muntah darah. Dan kemaren penyakit abah kambuh lagi, dan membuat beliau harus dirawat di rumah sakit.
            “Iya Abah…” Ucapku sembari mendekatkan diri disisinya. Wajahnya tak lagi keras seperti biasanya. Aku baru tersadar, bahwa dibalik kekerasannya ternyata Abah begitu rapuh.
             “Abah sudah tidak punya banyak waktu nak…” Gumam Abah sembari membelai kepalaku. Aku terisak disampingnya.
            “Maukah kamu mengabulkan permintaan Abah?” Tanya Abah padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Saat ini aku benar-benar tak bisa mendebat Abah atas segala keinginannya yang aku sendiri belum mengetahuinya.
            “Sebelum Abah menghadap Allah, Abah ingin melihat kamu menikah dengan seseorang yang bisa menggantikan Abah untuk menjagamu, melindungimu dan membahagiakan kamu Nak…”
Aku tak menjawab. Dadaku terasa begitu sesak. Bayangan bahwa aku akan kehilangan Abah benar-benar membuatku bungkam. 
            “Nanti malam, Abah akan menikahkanmu dengan seorang pemuda yang abah percaya bisa menjagamu. Apakah Nabila siap?” Tanya Abah. Jujur aku terkejut. Tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dihadapan Abah saat ini. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan apa yang Abah inginkan. Jika hal itu bisa membahagiakan Abah, aku akan melakukannya. Meskipun aku bahkan tak tahu akan menikah dengan siapa. Aku hanya bisa pasrah. Karena aku yakin, apa yang dipilihkan Abah untukku itulah yang terbaik buatku. Ridhallah fii Ridhal walidain… sudah saatnya aku berbakti.

***
            Hatiku benar-benar tak karuan. Antara hati dan pikiran saling berlawanan. Berkecamuk mengacaukan ketentraman. Aku benar-benar resah. Diluar sana sedang ada seseorang yang mengucapkan janjinya dihadapan Allah, dihadapan penghulu dan dihadapan kedua orang tuaku. Tapi bahkan aku tak tahu siapakah nama orang yang akan menjadi Imamku dunia dan akhirat. Siapakah orang yang akan kubaktikan seluruh jiwa dan ragaku? Allah… aku pasrah atas segala takdir-MU.
Tok… Tok… Tok…
            “Assalamu’alaikum…” Sapa orang yang mengetuk pintu kamarku dengan lembut. Mempelaiku telah datang. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Aku takut dan aku tak siap. Tapi aku sudah menjadi haknya.
            “Wa’alaikumsalam…” Akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari kerongkonganku.
            “Bolehkah aku masuk? Aku ingin menjumpai Bidadari yang telah Allah ciptakan untukku.” Ucapnya lembut. Bahasanya begitu santun. Dan hal itu membuat hatiku semakin  tak karuan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dada ini. melimpah ruah…
            “Masuklah…! Karena disinilah tempatmu, dan segala isinya adalah milikmu.” Jawabku menanggapinya. Bahasa yang begitu pas, aku sendiri bahkan tersipu mendengar kata-kata yang berhasil kurangkai untuk menyambut pengantinku. Pintu itu perlahan terbuka. Kemudian ditutup pelan-pelan. Aku tak berani melihatnya. Hingga dia yang sudah menjadi suamiku berada tepat dihadapanku. Aku masih saja menundukkan kepala. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar malu. Baru kali ini aku berada satu ruangan berdua dengan seorang laki-laki. Meskipun yang berada dihadapanku adalah laki-laki yang halal bagiku. Aku hanya bisa tertunduk.
            “Apakah dek Nabila tidak ingin melihat, saiapakah suami dek Nabila yang sebenarnya?”  Tanya dia. Perlahan aku mendongakkan kepala. Dan aku benar-benar tertegun dengan apa yang aku lihat. Sampai mataku tak bisa untuk berkedip. Subhanallah… kuasa-MU  Ya Rabbi…
Aku melihatnya didepanku, tersenyum. Cintaku benar-benar telah datang. Cintaku tak pernah hilang. Dia saat ini ada dihadapanku. Sebagai suamiku. Tak ada anugerah yang lebih indah, selain Anugerah di malam ini. Allah telah mengantarkan Kak Aufar ke depan mataku. Sebagai Imamku. Malam yang kutakutkan telah berubah menjadi malam penuh kebahagiaan. Dua hati ini telah menyatuh di malam yang begitu syahdu. Allah benar-benar telah memeluk cinta kami. Beginilah takdir menyatukan kami dalam ikatan suci yang selalu kuimpikan.

*Penulis adalah Alumni Annuqayah Daerah Latee, Cerpenis dan Bendahara LPM Solidaritas UINSA Surabaya.


Share:

0 komentar:

Profil

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Ruang ekpresi dan kreasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Surabaya. Untuk menampung seluruh kegiatan dan karya-karya tulis sebagai media informasi alumni annuqayah daerah surabaya yang sesuai dengan visi dan misinya.

Arsip