Minggu, 12 Agustus 2012

Manhajul Fikr; ASWAJA di ANNUQAYAH

Oleh: Rahmat Hidayatullah*

Pondok Pesantren Annuqayah yang berdiri pada tahun 1887 M (1307 H) oleh K.H Syarqawi di desa dan kecamatan Guluk-guluk kabupaten Sumenep. Lebih dari satu abad lamanya Annuqayah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang ini. Hal ini tidak lepas dari perjuangan para kiai Annuqayah dan peran Masyarakat disekitarnya (baca:sejarah)

Kiai annuqayah yang mempunyai pilihan prinsip tentang manhaj atau ideologi yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bermadzhab Syafi’iyah, dimana pilihan tersebut tidak serta merta langsung keluar dari Qaul (perkataan) kiai akan tetapi terus melalui proses yang panjang. Ikhtiar untuk menemukan manhaj/ideologi yang cocok bagi pesantrennya kiai Annuqayah melakukan kajian-kajian terhadap kitab-klasik untuk dapat diaplikasikan kepada santrinya dengan melalui cara Soroghan (ngaji) kitab dan menanamkan nilai-nialai ibadah yang baikterhadap santrinya. Faham Aswaja tidak hanya dijadikan sebagai Manhajul Fikr atau Qaul (perkataan) tetapi sebagai juga soal Aqidah, Fiqih (hukum) ataupun ilmu Tasawuf.

Beberapa kitab-kitab klasik yang dipelajari oleh Kiai Syarqawi seperti dalam masalah Fiqih, Tauhid, Tasawuf, dan faham kitab lainnya semuanya tetap beraliran Aswaja. Dan samapai sekarang dari generasi kegenerasi kajian kitab-kitab klasik yang berabau faham Aswaja terus menuai perkembangan dari K.H. Moh. Ilyas dan K.H Abdullah Sajjad. Kitab Mandzumatur Risalah tentang akidah, ditulis pada 1360 H., berisi 98 bait nadlam adalah karya Kiai Abdullah Sajjad. Kitab-kitab yang dikaji Kiai Amir Ilyas dan diajarkan kepada santri di masa kepengasuhannya beliau juga dalam lingkar yang sama: aswaja; yaitu: Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Shohih Bukhori dan Muslim, Riyadus Sholihin, Fathul Wahab, Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar, Ibnu Aqil, al-Fiyah, ‘Imrithi, Kailani, Nadhamul Maqsud, Durratun Nashihin, Minhajul ‘Abidin, dan Jauharul Maknun (Tim Direktori Pesantren, 1986: 231).

Perkembangan dan kemajuan Annuqayah yang dirasakan saat ini bukan serta merta mengubah faham/doktrin ajarannya, akan tetapi karena peran kiai yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang absolut (Bisri Effendy, Annuqayah ; Gerak Transformasi Sosial di Madura,1990;1) untuk menjadikan Aswaja sebagai prinsip Center faham ajarannya. Sehingga ketika saya pernah mendengar dawuh K.H Warits Ilyas pada acara akhir sanah PP. Annuqayah Lubangsa Raya dimana pesan beliau Santri Annuqayah (Lubangsa Raya) bebas mempelajari ilmu apa saja termasuk ilmu umum tetapi beliau lebih menekankan bahkan mewajibakan santrinya untuk belajar ilmu Agama dan lebih memperdalamnya sampai benar-benar faham tentang ilmu agama (Islam).  

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Annuqayah merupakan pesantren yang berbentuk federasi. Dimana sudah tersebar Pondok pesantren Annuqayah dibeberapa daerah ketiaka itu bermula dari berpindahnya saudara K.H. Moh. Ilyas atau putra dari Kiai Syarqawi yaitu K.H. Abdullah Sajjad mendirikan pesantren sendiri yang dikenal dengan nama Latee berjarak kurang lebih 100 meter di sebelah timur kediaman K.H. Moh. Ilyas (Lubangsa Raya). Samapai sekarang sudah berkembang dan banyak bermunculan nama dari beberapa daerah seperti Nirmala, Lubangsa Selatan, Al-Furqan dan lain sebagainya yang kemudian dikatakan “pesantren federasi”. Tradisi-tradisi Ke-aswaja-an tetap terjaga dengan baik dari generasi kegenarasi seakan itu sudah final dan menjadi harga mati bagi sebuah pesantren Annuqayah yang tidak dapat tergantikan dengan faham/ideologi lainnya. Karena nilai-nilai aswaja sudah tertanam dalam diri kiai dan santri dan itu bukan hanya dijadikan sebuah identitas atau simbol untuk kepentingan belaka tetapi bagaimana aswaja itu sudah tertanam dalam bebagai aspek kehidupan sehari-harinya. 

Menurut saya ada dua hal mengapa faham Aswaja tetap eksis dan menjadi prinsip/faham bagi Annuqayah yaitu pertama, faham Aswaja tidak bisa lepas dari peran seorang kiai yang mempunyai penguasa atau wewenang bagi pesantrennya untuk tetap mentradisikan dan menanamkan nilai-nilai aswaja dalam berabagai aspek kehidupan sehingga baginya aswaja menjadi central bagi pesantrennya. Kedua, faham aswaja sudah menjadi budaya (tradisi/kebiasaan) bagi kiai dan santrinya dalam kehidupan sehari-harinya seperti melakukan kegiatan pengajian (soroghan) kitab-kitab klasik, tahilan, ziarah kemakam pengasuh dan tradisi-tradisi aswaja lainnya.

*Penulis Adalah Sekretaris IAA Daerah Surabaya Periode 2012-2013







Share:

0 komentar:

Profil

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Ruang ekpresi dan kreasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Surabaya. Untuk menampung seluruh kegiatan dan karya-karya tulis sebagai media informasi alumni annuqayah daerah surabaya yang sesuai dengan visi dan misinya.

Arsip