Oleh: Rahmat
Hidayatullah*
Pondok Pesantren
Annuqayah yang berdiri pada tahun 1887 M (1307 H) oleh K.H Syarqawi di desa dan kecamatan
Guluk-guluk kabupaten Sumenep. Lebih dari satu abad lamanya Annuqayah telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang ini. Hal ini tidak lepas dari
perjuangan para kiai Annuqayah dan peran Masyarakat disekitarnya (baca:sejarah)
Kiai annuqayah yang
mempunyai pilihan prinsip
tentang manhaj
atau ideologi yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bermadzhab Syafi’iyah, dimana pilihan
tersebut tidak serta merta langsung keluar dari Qaul (perkataan) kiai akan tetapi terus melalui proses yang panjang.
Ikhtiar untuk menemukan manhaj/ideologi
yang cocok bagi pesantrennya kiai Annuqayah melakukan kajian-kajian terhadap
kitab-klasik untuk dapat diaplikasikan kepada santrinya dengan melalui cara Soroghan (ngaji) kitab dan menanamkan nilai-nialai ibadah yang baikterhadap santrinya. Faham Aswaja tidak hanya dijadikan
sebagai Manhajul Fikr atau Qaul
(perkataan) tetapi sebagai juga soal Aqidah, Fiqih (hukum) ataupun ilmu
Tasawuf.
Beberapa kitab-kitab klasik yang dipelajari oleh Kiai Syarqawi seperti
dalam masalah Fiqih, Tauhid, Tasawuf, dan faham kitab lainnya semuanya tetap
beraliran Aswaja. Dan samapai sekarang dari generasi kegenerasi kajian
kitab-kitab klasik yang berabau faham Aswaja terus menuai perkembangan dari K.H.
Moh. Ilyas dan K.H Abdullah Sajjad. Kitab Mandzumatur Risalah tentang akidah,
ditulis pada 1360 H., berisi 98 bait nadlam
adalah karya Kiai Abdullah Sajjad. Kitab-kitab yang dikaji Kiai Amir Ilyas dan
diajarkan kepada santri di masa kepengasuhannya beliau juga dalam lingkar yang
sama: aswaja; yaitu: Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Shohih Bukhori dan
Muslim, Riyadus Sholihin, Fathul Wahab, Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar, Ibnu
Aqil, al-Fiyah, ‘Imrithi, Kailani, Nadhamul Maqsud, Durratun Nashihin, Minhajul
‘Abidin, dan Jauharul Maknun (Tim Direktori Pesantren, 1986: 231).
Perkembangan dan kemajuan Annuqayah yang dirasakan saat ini bukan serta
merta mengubah faham/doktrin ajarannya, akan tetapi karena peran kiai yang
mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang absolut (Bisri Effendy, Annuqayah ;
Gerak Transformasi Sosial di Madura,1990;1) untuk menjadikan Aswaja sebagai
prinsip Center faham ajarannya. Sehingga ketika saya pernah mendengar dawuh K.H
Warits Ilyas pada acara akhir sanah PP. Annuqayah Lubangsa Raya dimana pesan beliau Santri
Annuqayah (Lubangsa Raya) bebas mempelajari ilmu apa saja termasuk ilmu umum
tetapi beliau lebih menekankan bahkan mewajibakan santrinya untuk belajar ilmu
Agama dan lebih memperdalamnya sampai benar-benar faham tentang ilmu agama
(Islam).
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Annuqayah merupakan pesantren
yang berbentuk federasi. Dimana sudah tersebar Pondok pesantren Annuqayah
dibeberapa daerah ketiaka itu bermula dari berpindahnya saudara K.H. Moh. Ilyas
atau putra dari Kiai Syarqawi yaitu K.H. Abdullah Sajjad mendirikan pesantren
sendiri yang dikenal dengan nama Latee berjarak kurang lebih 100 meter di
sebelah timur kediaman K.H. Moh. Ilyas (Lubangsa Raya). Samapai sekarang sudah
berkembang dan banyak
bermunculan nama dari beberapa daerah seperti Nirmala, Lubangsa Selatan,
Al-Furqan dan lain sebagainya yang kemudian dikatakan “pesantren federasi”. Tradisi-tradisi
Ke-aswaja-an tetap terjaga dengan baik dari generasi kegenarasi seakan itu
sudah final dan menjadi harga mati bagi sebuah pesantren Annuqayah yang tidak
dapat tergantikan dengan faham/ideologi lainnya. Karena nilai-nilai aswaja
sudah tertanam dalam diri kiai dan santri dan itu bukan hanya dijadikan sebuah
identitas atau simbol untuk kepentingan belaka tetapi bagaimana aswaja itu sudah
tertanam dalam bebagai aspek kehidupan sehari-harinya.
Menurut saya ada dua hal mengapa faham Aswaja tetap eksis dan menjadi
prinsip/faham bagi Annuqayah yaitu pertama,
faham Aswaja tidak bisa lepas dari peran seorang kiai yang
mempunyai penguasa atau wewenang bagi pesantrennya untuk tetap mentradisikan
dan menanamkan nilai-nilai aswaja dalam berabagai aspek kehidupan sehingga baginya aswaja menjadi central
bagi pesantrennya. Kedua, faham aswaja sudah menjadi budaya (tradisi/kebiasaan)
bagi kiai dan santrinya dalam kehidupan sehari-harinya seperti melakukan
kegiatan pengajian (soroghan) kitab-kitab klasik, tahilan, ziarah kemakam
pengasuh dan tradisi-tradisi aswaja lainnya.
*Penulis
Adalah Sekretaris IAA Daerah Surabaya Periode 2012-2013
0 komentar:
Posting Komentar