Jika boleh memplesetkan sebuah lagu,
maka saya akan memplesetkan lagunya Netral yang berjudul ‘Garuda di Dadaku’
menjadi ‘Annuqayah di Dadaku’. Karena bagi saya Annuqayah tidak hanya sebagai
sebuah pesantren belaka, melainkan Annuqayah bagi saya adalah orang tua dan
desa kedua saya. Ya, meskipun saat ini secara adiministratif saya bukan lagi
santri Annuqayah, tapi bagi saya pribadi saya tetap dan akan selalu menjadi
santri Annuqayah sampai kapan pun.
Banyak sekali yang saya alami dan saya
dapatkan selama enam tahun tinggal di Annuqayah, baik berupa ilmu, pengalaman,
guru, sahabat dan banyak hal lainnya yang telah mewarnai hidup saya dan selalu
menginspirasi saya untuk selalu menjadi lebih baik. Semua itu tidak akan pernah
terlupakan.
Ada beberapa hal yang paling sering saya
ingat dan saya rindukan saat ini dari Annuqayah. Yang pertama adalah sosok kiai
yang paling bersahaja yang selalu sabar mengayomi santinya meskipun santrinya
terkadang sering berbuat tidak sesuai yang diinginkan beliau. Yaitu KH. Ahmad
Basyir AS. Sosok beliaulah yang paling saya rindukan dari Annuqayah. Betapa
tidak, dengan keadaan beliau yang saat ini sudah mencapai usia senja, beliau
masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk memberikan ilmu dan pendidikan
yang terbaik pada santrinya. Beliau selalu menjadi imam shalat jama’ah di
Mushalla Latee atau pun mengajar Madrasah Diniyah meskipun pada saat itu juga
kondisi beliau tidak cukup kuat untuk itu.
Mengingat beliau membuat mata saya
seketika penuh air mata. Rasa kagum dan rasa haru bercampur dalam hati saya
saat saya mengingat semua tentang beliau. Mulai dari semangatnya hingga
perkataan-perkataan beliau tetap saya rasakan hingga saat ini, saat saya berada
di kota Surabaya ini. Dan saya akan senantiasa selalu mendoakan beliau semoga
beliau tetap kuat memberikan yang terbaik untuk santrinya dan semoga beliau diberikan
pahala dan surga kelak di akhirat nanti.
Yang kedua, yang sangat saya rindukan
dari Annuqayah adalah suasana religius yang tak pernah hilang. Memang, sudah
sepatutnya semua pesantren identik dengan suasana religius. Tapi bagi saya
suasana religius yang ada di Annuqayah sangat berbeda dengan suasana religius
yang ada di pesantren-pesantren lain yang pernah saya kunjungi. Seperti Al Amin
Prenduan, Al Is’af Kalaba’an atau pun Pesantren Tebuireng Jombang yang
baru-baru ini saya kunjungi. Perbedaan suasana seperti juga diakui beberapa
teman saya di Annuqayah yang juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren
lain.
Saya tidak dapat menjelaskan secara
detail letak perbedaan suasana religius tersebut. Namun saat saya berada di
Annuqayah saya merasakan sebuah ketenangan, ketentaraman dan kesejukan yang
tidak pernah saya rasakan di Surabaya. Selain dari pada itu, secara tidak
langsung orang-orang yang ada di sana menantang saya untuk berlomba-lomba
berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Yang ketiga adalah tradisi menulis yang
menjadi salah satu ciri khas Annuqayah. Ya, Annuqayahlah yang mengantarkan saya
pada dunia yang sangat menyenangkan ini, dunia menulis. Berawal dari
ketidaksengajaan saya masuk dunia tulis-menulis. Namun ketidaksengajaan
tersebut telah membawa saya ke beberapa tempat-tempat seperti Jakarta dan juga
memperkenalkan saya kepada orang-orang penuh semangat dalam menulis seperti Gus
Muhammad Musthafa, Gus M. Zammiel el Muttaqien dan Gus M. Faizi.
Beliau-beliaulah yang selalu saya jadikan contoh dan guru-guru saya dalam
menulis, yang terkadang saat saya melihat karya mereka saya terpacu untuk terus
menulis dan berkarya.
Di Annuqayah ada sebuah kompetisi untuk
menulis yang akan selalu mendorong sesorang untuk menulis, meskipun hal itu
tidak tampak secara kasat mata. Dan kompetisi itu tidak pernah saya rasakan di
sini, sehingga sejak saya tinggal di Surabaya sampai saat ini tulisan saya
masih bisa dihitung dengan jari. Berbeda saat saya masih di Annuqayah yang
setiap hari, setidaknya saya menghasilkan sebuah tulisan dalam bentuk apapun.
Yang keempat adalah suasana sosialis dan
rasa persaudaraan yang diterapkan para santri Annuqayah. Hal itulah yang tidak
pernah saya rasakan di Surabaya. Di sini, semua orang seakan hanya mementingkan
diri sendiri saja. Semua bersifat individual. Bahkan meskipun Pesantren
Mahasiswa IAIN yang saya tempati sekarang ini berbasis pesantren, tapi tidak
sedikitpun saya merasakan adanya rasa persaudaraan mereka sama seperti rasa
persaudaraan teman-teman di Annuqayah. Semua orang yang tinggal di sini sulit
untuk berkumpul dan bercerita-cerita seperti teman-teman di Annuqayah. Mereka
hanya berkumpul dengan orang-orang yang menurut mereka satu derajat atau satu
ideologi saja. Sungguh sangat tidak menyenangkannya kehidupan sosial di sini.
Hal-hal inilah yang selalu membuat saya
merasa rindu pada Annuqayah. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan pada semua
orang, pada semua teman-teman saya terutama teman-teman di Annuqayah. Saya akan
mengatakan bahwa seberapa besarpun kita ingin keluar dari Annuqayah maka
sebesar itu pula rasa rindu yang akan kita rasakan saat kita jauh dari
Annuqayah.
Dan jika suatu saat nanti, saat saya
telah menyelesaikan semua proses studi saya, ada yang meminta saya untuk
kembali atau pun menjadi bagian dari Annuqayah. Maka saya akan senantiasa untuk
menerimanya. Karena Annuqayah di dadaku.
*) Penulis adalah Ketua IAA Surabaya
2012-2013
0 komentar:
Posting Komentar