Jumat, 18 Januari 2013

Sekolah Bertaraf Internasional

 Oleh: Marlaf Sucipto
Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 Pasal 50 ayat 3, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UU tersebut dianggap, selain memunculkan dualisme dalam sistem pendidikan, juga mengakibatkan disparitas pendidikan antara warga miskin dan kaya. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) hanya bisa diakses oleh masyarakat yang hidup di kota besar dan berduit. Masyarakat miskin, dan bagi mereka yang hidup di daerah terpencil tidak bisa mengakses sekolah ‘bergensi’ tersebut. Sekolah tersebut menggunakan pengantar bahasa Inggris sebagai bahasa dunia kini.
Sekolah tersebut mendapatkan fasilitas serba wah mulai dari toilet sampai ruang kelasnya. Bahkan tidak sedikit tenaga ahli yang diperbantukan dengan biaya mahal ditemuinya. Orang asing maupun pribumi. Dan, yang memperlengkap keistimewaan sekolah tersebut adalah, setiap tahun mendapatkan kucuran dana lebih banyak ketimbang sekolah biasa dari Sumber Pendapatan Belanja Negara maupun Daerah (APBN/D).

Atas hal di atas, jelas, negara diskriminatif!.

Di dalam UUD 1945 BAB XIII Pasal 31 Ayat 1-2 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa, ”Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Atas amanah UUD tersebut, mestinya pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan yang bisa diakses oleh semua pihak. SBI maupun RSBI tidak semua warga negara mampu mengaksesnya. Karena selain hanya tersedia di kota-kota besar, juga masih melakukan pungutan yang tidak semua warga negara mampu menjangkaunya. Padahal, di dalam ayat 3 amanah UUD sebagaimana tersebut, dijelaskan bahwa “Negara Memprioritaskan Anggaran Pendidikan Sekurang-Kurangnya Dua Puluh Persen Dari APBN Dan APBD Untuk Memenuhi Kebutuhan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional”.

Dibubarkanya RSBI dan SBI adalah langkah yang tepat untuk menghapus UU yang diskriminatif tersebut. Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan yang bisa diakses dan tidak membeda-bedakan setiap warga Indonesia yang plural. Stratifikasi sosial harus disikapi dengan kebijakan yang tidak semakin memperuncing antara yang kaya dan yang miskin. Jika misal sistem pendidikan Nasional kita dianggap tidak berkualitas, menjadi tanggung jawab bersama untuk memperbaikinya. Bukan malah memberikan peluang atas yang kaya dan mempersempit atas yang miskin dalam mengakses pendidikan yang lebih baik. Tenaga pengajar yang dibayar mahal di RSBI dan SBI karena kualitasnya yang luar biasa jadikan totorial atas tenaga pengajar lain yang dari segi kualitas mengajarnya dipandang perlu untuk diperbaiki. Sarana dan prasarana yang sempat ‘elit’ di RSBI dan SBI distribusikan secara merata atas sekolah-sekolah lain yang dari segi sarana dan prasarana dipandang perlu untuk diperbaiki. Dan, manajemen waktu, sadarnya lingkungan bersih dan sehat yang hampir terjadi di SBI dan RSBI menjadi tanggung jawab pemerintah untuk juga diterapkan di lembaga pendidikan lain dengan menfungsikan pengelola dan tenaga pembantu SBI dan RSBI yang sudah teruji professionalitasnya.

Saatnya pendidikan Indonesia, adil untuk semua. Tanpa membeda-bedakan kelas sosial. Karena kita satu: nusa, bangsa, dan bahasa, bahasa Indonesia.

Salam Indonesia yang satu.
Share:

0 komentar:

Profil

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Ruang ekpresi dan kreasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Surabaya. Untuk menampung seluruh kegiatan dan karya-karya tulis sebagai media informasi alumni annuqayah daerah surabaya yang sesuai dengan visi dan misinya.

Arsip