Oleh: Marlaf Sucipto
Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun
2003 Pasal 50 ayat 3, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UU tersebut dianggap,
selain memunculkan dualisme dalam sistem pendidikan, juga mengakibatkan disparitas
pendidikan antara warga miskin dan kaya. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) hanya bisa diakses oleh
masyarakat yang hidup di kota besar dan berduit. Masyarakat miskin, dan bagi
mereka yang hidup di daerah terpencil tidak bisa mengakses sekolah ‘bergensi’
tersebut. Sekolah tersebut menggunakan pengantar bahasa Inggris sebagai bahasa
dunia kini.
Sekolah tersebut mendapatkan fasilitas serba wah mulai dari
toilet sampai ruang kelasnya. Bahkan tidak sedikit tenaga ahli yang
diperbantukan dengan biaya mahal ditemuinya. Orang asing maupun pribumi. Dan,
yang memperlengkap keistimewaan sekolah tersebut adalah, setiap tahun
mendapatkan kucuran dana lebih banyak ketimbang sekolah biasa dari Sumber
Pendapatan Belanja Negara maupun Daerah (APBN/D).
Atas hal di atas, jelas, negara
diskriminatif!.
Di dalam UUD 1945 BAB XIII Pasal
31 Ayat 1-2 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa, ”Setiap
Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Atas amanah UUD
tersebut, mestinya pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan yang bisa
diakses oleh semua pihak. SBI maupun RSBI tidak semua warga negara mampu
mengaksesnya. Karena selain hanya tersedia di kota-kota besar, juga masih
melakukan pungutan yang tidak semua warga negara mampu menjangkaunya. Padahal, di dalam
ayat 3 amanah UUD sebagaimana tersebut, dijelaskan bahwa “Negara
Memprioritaskan Anggaran Pendidikan Sekurang-Kurangnya Dua Puluh Persen Dari APBN
Dan APBD Untuk Memenuhi Kebutuhan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional”.
Dibubarkanya RSBI dan SBI adalah
langkah yang tepat untuk menghapus UU yang diskriminatif tersebut. Pemerintah berkewajiban
menyediakan pendidikan yang bisa diakses dan tidak membeda-bedakan setiap warga
Indonesia yang plural. Stratifikasi sosial harus disikapi dengan kebijakan yang
tidak semakin memperuncing antara yang kaya dan yang miskin. Jika misal sistem pendidikan Nasional kita dianggap tidak berkualitas, menjadi tanggung jawab
bersama untuk memperbaikinya. Bukan malah memberikan peluang atas yang kaya
dan mempersempit atas yang miskin dalam mengakses pendidikan yang lebih baik. Tenaga
pengajar yang dibayar mahal di RSBI dan SBI karena kualitasnya yang luar biasa
jadikan totorial atas tenaga pengajar lain yang dari segi kualitas mengajarnya
dipandang perlu untuk diperbaiki. Sarana dan prasarana yang sempat ‘elit’ di
RSBI dan SBI distribusikan secara merata atas sekolah-sekolah lain yang dari
segi sarana dan prasarana dipandang perlu untuk diperbaiki. Dan, manajemen
waktu, sadarnya lingkungan bersih dan sehat yang hampir terjadi di SBI dan RSBI
menjadi tanggung jawab pemerintah untuk juga diterapkan di lembaga pendidikan
lain dengan menfungsikan pengelola dan tenaga pembantu SBI dan RSBI yang sudah
teruji professionalitasnya.
Saatnya pendidikan Indonesia,
adil untuk semua. Tanpa membeda-bedakan kelas sosial. Karena kita satu: nusa, bangsa, dan bahasa, bahasa Indonesia.
Salam Indonesia yang satu.
0 komentar:
Posting Komentar