Oleh: Marlaf Sucipto
Saat ini saya tertarik untuk
turut mengomentari beberapa PERDA yang dianggap ‘nyeleneh’ oleh banyak
kalangan. Tema tulisan ini saya ambil dari tema sebuah acara televisi Mata
Najwa di MetroTv. Acara tersebut secara husus membincang tentang himbauan
pemerintah daerah Aceh agar perempuan Aceh ketika membonceng pada sepeda motor
tidak dalam posisi duduk mekang-kang. Himbauan tersebut akan menjadi Peraturan
Daerah (PERDA) setelah tiga bulan selanjutnya. Alasan diberlakukannya perda
tersebut sebagaimana penuturan Suaidi Yahya (Walikota Lhoksseumawe Aceh) untuk
melindungi kaum perempuan, masyarakat dari fitnah yang ditimbulkannya.
Kemudian, Mardiono, Ketua DPRD
Surabaya, juga merencanakan akan mengeluarkan PERDA atas warganya agar setiap bayi
yang lahir harus diberi imbuhan nama kedaerahan sesuai dengan nama kecamatan
dimana bayi lahir tersebut. atau, diberi imbuhan nama-nama pahlawan asal
Surabaya. Alasan PERDA itu dibuat, untuk melindungi warganya agar tidak
terseret oleh arus globalisasi yang telah menggerus identitas kedaerahan.
Di Kampor Riau, dibuatlah PERDA
larangan menonton telivisi sehabis Magrib sampai Isya’ dan mewajibkan warganya
mengaji al-Quran selama waktu tersebut. PERDA itu dibuat, agar masyarakatnya
tidak meninggalkan budaya setempat. Dimana, sehabis Magrib sampai Isya’ warga
daerah tersebut mempunyai kebiasaan mengisi surau, mosholla, dan masjid-masjid
untuk belajar ngaji dan ngaji al-Quran. Perda itu dibuat, untuk
melindungi warganya agar tidak terseret oleh laju modernitas yang terus
berjalan dan berkembang.
Dan banyak lagi daerah lain yang
menerbitkan perda, dengan ribuan perda. Alasan sederhananya adalah untuk
melindungi dari hal-hal yang tidak baik dan merugikan warganya.
Saya rasa, perda tersebut dibuat,
sesuai dengan dinamika politik, sosial, hukum daerah tersebut terjadi. Dan munculkan
perda-perda tersebut menjadi kata lain dari ketidak berdayaannya pemerintah
pusat dalam melindungi warga negara Indonesia yang plural dari arus globalisasi
yang me-ruyak dan mengikis moralitas dan identitas bangsa. Pusat seakan
menjadi kaki tangan kepentingan asing yang secara de Vacto merupakan
penjajah modern. Munculnya PERDA larangan menggunakan pakaian ketat, transparan
dan membonceng dalam posisi mekang-kang atas perempuan di Aceh merupakan
sikap pemerintah daerah untuk meminimalisir pengaruh telivisi yang tayangannya
tidak berkualitas. Kiblat peradaban masyarakat Indonesia kini masih berkiblat,
salah satunya pada tayangan telivisi. Sedangkan telivisi kita saat ini lebih
banyak menyuguhkan sikap sifat konsumeristik yang memuja-muji prodak asing. Sedangkan
cinta untuk prodak sendiri, menumbuhkan produktifitas dan kreatifitas sendiri,
tidak menjadi skala prioritas dari setiap tayangan yang dimunculkan ditelivisi.
Sedangkan oprasionalisasi tayangan-tayangan telivisi, sudah pasti atas izin
pemerintah pusat. Dari sini sudah jelas, bahwa pemerintah pusat, hususnya
pembuat kebijakan, turut terlibat dalam pengrusakan sikap sifat warga
Indonesia.
Munculnya Perda, dipengaruhi oleh
lahirnya undang-undang otonomi daerah dan pemerintahan daerah. Dimana, UU
tersebut, salah satunya memberikan peluang atas daerah untuk mengatur daerahnya
sebaik mungkin. Dalam hal apapun. Disisi ekonomi, banyak pemerintah daerah
mengkomersialisasi daerahnya untuk mendapatkan pendapatan yang
sebesar-besarnya. Dari sisi hukum, banyak pemerintah daerah yang membuat perda
untuk mengatur daerahnya sesuai dengan selara pemimpin daerah tersebut. Sebagaimana
penuturan Gumawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri), sudah puluhan ribu perda yang
lahir, dari puluhan ribu perda yang lahir tersebut tidak sedikit yang
substansinya justru merongrong harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Dari sisi ekonomi, Indonesia
porak-poranda. Ekonomi kerakyatan berbalik menjadi ekonomi kapitalis. Sumber daya
alam dikuasasi oleh pemodal asing walaupun dalam UUD ’45 dikuasai oleh negara
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Semuanya utopis
dan masyarakat Indonesia hanya disuruh bermimpi untuk sejahtera dan makmur. Kenapa
demikian?, karena pemerintah kita saat ini, berlindung dibawah undang-undang,
mempersilahkan orang asing untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya
manusia Indonesia agar dipergunakan sebebas-bebasnya untuk kepentingan asing.
Setelah begini, benar apa yang
dikatakan oleh MH Ainun Nadjib, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia adalah
kata lain dari kesiapan warga negara Indonesia dalam menjajah bangsanya
sendiri.
Munculnya perda-perda yang
beralasan untuk melindungi warga Indonesia dari gempuran arus globalisasi layak
didudukung dan didorong untuk diuji publik. Untuk mengukur kabaikan dan
keburukannya. Hususnya untuk warga negara Indonesia sendiri.
Mari berefleksi!
0 komentar:
Posting Komentar