Rabu, 16 Januari 2013

BALADA PERDA


Oleh: Marlaf Sucipto
Saat ini saya tertarik untuk turut mengomentari beberapa PERDA yang dianggap ‘nyeleneh’ oleh banyak kalangan. Tema tulisan ini saya ambil dari tema sebuah acara televisi Mata Najwa di MetroTv. Acara tersebut secara husus membincang tentang himbauan pemerintah daerah Aceh agar perempuan Aceh ketika membonceng pada sepeda motor tidak dalam posisi duduk mekang-kang. Himbauan tersebut akan menjadi Peraturan Daerah (PERDA) setelah tiga bulan selanjutnya. Alasan diberlakukannya perda tersebut sebagaimana penuturan Suaidi Yahya (Walikota Lhoksseumawe Aceh) untuk melindungi kaum perempuan, masyarakat dari fitnah yang ditimbulkannya.

Kemudian, Mardiono, Ketua DPRD Surabaya, juga merencanakan akan mengeluarkan PERDA atas warganya agar setiap bayi yang lahir harus diberi imbuhan nama kedaerahan sesuai dengan nama kecamatan dimana bayi lahir tersebut. atau, diberi imbuhan nama-nama pahlawan asal Surabaya. Alasan PERDA itu dibuat, untuk melindungi warganya agar tidak terseret oleh arus globalisasi yang telah menggerus identitas kedaerahan.

Di Kampor Riau, dibuatlah PERDA larangan menonton telivisi sehabis Magrib sampai Isya’ dan mewajibkan warganya mengaji al-Quran selama waktu tersebut. PERDA itu dibuat, agar masyarakatnya tidak meninggalkan budaya setempat. Dimana, sehabis Magrib sampai Isya’ warga daerah tersebut mempunyai kebiasaan mengisi surau, mosholla, dan masjid-masjid untuk belajar ngaji dan ngaji al-Quran. Perda itu dibuat, untuk melindungi warganya agar tidak terseret oleh laju modernitas yang terus berjalan dan berkembang.

Dan banyak lagi daerah lain yang menerbitkan perda, dengan ribuan perda. Alasan sederhananya adalah untuk melindungi dari hal-hal yang tidak baik dan merugikan warganya.

Saya rasa, perda tersebut dibuat, sesuai dengan dinamika politik, sosial, hukum daerah tersebut terjadi. Dan munculkan perda-perda tersebut menjadi kata lain dari ketidak berdayaannya pemerintah pusat dalam melindungi warga negara Indonesia yang plural dari arus globalisasi yang me-ruyak dan mengikis moralitas dan identitas bangsa. Pusat seakan menjadi kaki tangan kepentingan asing yang secara de Vacto merupakan penjajah modern. Munculnya PERDA larangan menggunakan pakaian ketat, transparan dan membonceng dalam posisi mekang-kang atas perempuan di Aceh merupakan sikap pemerintah daerah untuk meminimalisir pengaruh telivisi yang tayangannya tidak berkualitas. Kiblat peradaban masyarakat Indonesia kini masih berkiblat, salah satunya pada tayangan telivisi. Sedangkan telivisi kita saat ini lebih banyak menyuguhkan sikap sifat konsumeristik yang memuja-muji prodak asing. Sedangkan cinta untuk prodak sendiri, menumbuhkan produktifitas dan kreatifitas sendiri, tidak menjadi skala prioritas dari setiap tayangan yang dimunculkan ditelivisi. Sedangkan oprasionalisasi tayangan-tayangan telivisi, sudah pasti atas izin pemerintah pusat. Dari sini sudah jelas, bahwa pemerintah pusat, hususnya pembuat kebijakan, turut terlibat dalam pengrusakan sikap sifat warga Indonesia.

Munculnya Perda, dipengaruhi oleh lahirnya undang-undang otonomi daerah dan pemerintahan daerah. Dimana, UU tersebut, salah satunya memberikan peluang atas daerah untuk mengatur daerahnya sebaik mungkin. Dalam hal apapun. Disisi ekonomi, banyak pemerintah daerah mengkomersialisasi daerahnya untuk mendapatkan pendapatan yang sebesar-besarnya. Dari sisi hukum, banyak pemerintah daerah yang membuat perda untuk mengatur daerahnya sesuai dengan selara pemimpin daerah tersebut. Sebagaimana penuturan Gumawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri), sudah puluhan ribu perda yang lahir, dari puluhan ribu perda yang lahir tersebut tidak sedikit yang substansinya justru merongrong harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Dari sisi ekonomi, Indonesia porak-poranda. Ekonomi kerakyatan berbalik menjadi ekonomi kapitalis. Sumber daya alam dikuasasi oleh pemodal asing walaupun dalam UUD ’45 dikuasai oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Semuanya utopis dan masyarakat Indonesia hanya disuruh bermimpi untuk sejahtera dan makmur. Kenapa demikian?, karena pemerintah kita saat ini, berlindung dibawah undang-undang, mempersilahkan orang asing untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia agar dipergunakan sebebas-bebasnya untuk kepentingan asing.

Setelah begini, benar apa yang dikatakan oleh MH Ainun Nadjib, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia adalah kata lain dari kesiapan warga negara Indonesia dalam menjajah bangsanya sendiri.

Munculnya perda-perda yang beralasan untuk melindungi warga Indonesia dari gempuran arus globalisasi layak didudukung dan didorong untuk diuji publik. Untuk mengukur kabaikan dan keburukannya. Hususnya untuk warga negara Indonesia sendiri.

Mari berefleksi!
Share:

0 komentar:

Profil

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Ruang ekpresi dan kreasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Surabaya. Untuk menampung seluruh kegiatan dan karya-karya tulis sebagai media informasi alumni annuqayah daerah surabaya yang sesuai dengan visi dan misinya.

Arsip