*Marlaf Sucipto
Apa yang salah dalam pribadi
kita, sehingga jika ada yang berbeda kita bertindak beringas dan mempergunakan
hukum rimba. Apa yang salah dalam pribadi kita, sehingga bila ada yang tidak
sejalan dengan kita dalam memahami agama kita sikat habis mereka. Ada apa-ada
apa?
Pertanyaan diatas merefleksi dari
acara dialog yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa (SEMA) Ushuludin, PMII
Rayon Ushuludin, dan Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA) yang rencana awal
diletakkan di Auditorium IAIN Sunan Ampel gagal karena tidak diperbolehkan
secara mendadak oleh IAIN Sunan Ampel. Ahirnya, acara tersebut diletakkan di
Aula serba guna Fak. Ushuludin IAIN Sunan Ampel.
Acara diatas berlangsung ‘kisruh’.
Kisruh dalam arti, sampai disesi tanya jawab, ada pertanyaan yang bikin
kelompok tertentu marah dengan mengeluarkan kata ‘katzzab’ (bohong) atas jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan
oleh penanya, ekspresi sikapnya yang menggelagar membuat forum tidak kondusif. Pertanyaan
tersebut, bagi saya tidak harus dibawa kisruh, dan mungkin, maksud dari penanya
adalah untuk mengklarifikasi dari isu yang berkembang sejak kelompok tersebut
menjadi isu nasional. Isi pertanyaan tersebut adalah “Apakah benar, syiah itu
menjelek-jelekkan Siti Aisyah dan sebagian Sahabat Nabi?” pertanyaan belum
dijawab langsung disanggah oleh Audien yang mengeluarkan kata ‘katzzab’ tersebut. Ahirnya, acara tidak
berlanjut, dan selesai tanpa happy ending.
Sikap Kita Yang Masih Seperti Binatang
Saya menggunakan kata ‘kita’,
karena mereka masih bagian dari kita. Bagian dalam arti, mereka adalah warga
Indonesia, mereka juga umat islam yang sama-sama meyakini Allah sebagai Tuhan
yang satu dan Nabi Muhammad sebagai nabinya. Sama-sama menggunakan al-Quran
sebagai kitab suci. Yang berbeda diatara kita hanya dalam menafsiri al-Quran
dan menggunakan hadits nabi dalam keseharian kita. Tafsir yang berbeda dan hadits
yang beragam karena dalam sejarah tafsir dan hadits dilakukan oleh orang yang
menurut Allah sama dihadapan-Nya. Apa lagi memang, Tuhan tidak pernah melarang atas
siapapun untuk menafsiri al-Quran. Jika Tuhan menganggap kita sama
dihadapan-Nya, berarti Tuhan tidak mendeskriminasi manusia untuk melakukan
tafsir atas ayat al-Quran-Nya. Difahami dan ditafsiri seperti apapun, asalkan
tidak menimbulkan masalah pada dirinya dan orang lain, bagi saya oke-oke saja. Mereka
yang melakukan tafsirpun, juga mengira-ngira, kerren-nya, sama-sama berspekulasi atas ayat yang ditafsirinya. Dan
semuanya, karena dilakukan oleh manusia yang tidak istimewa seperti Nabi,
kadarnya bersifat ijtihad, sedangkat ijtihad, bisa salah bisa benar. Jika salah
dapat pahala satu, jika benar dapat pahala dua, kenapa walaupun salah masih
dapat pahala? Itu sebagai salah satu bentuk apresiasi atas manusia yang telah
berusaha untuk menemukan yang terbaik dari setiap usahanya. begitu dulu keterangan
suatu kitab yang juga dikarang oleh manusia, sewaktu saya masih nyantri di Pondok pesantren.
Soal hadits, dalam sejarah juga
dijelaskan, bahwa hadits baru diakukan pencatatan (kodifikasi), sejak khalifah
Umar bin Abdul Aziz, beliau jadi pemimpin, 300th sejak nabi Wafat. Sebelumnya,
hadits-hadits berserakahan dipelapah kurma, tulang unta, kulit binatang, dll. Juga,
sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ummat islam lebih mengandalkan hafalan
ketimbang pembukuan. Sedangkan hafalan, sebagaimana kita ketahui, tidak sebagus
pembukuan. Sangat mungkin dari sekian hafalan tersebut, terjadi pengurangan,
bahkan tidak kecil kemungkinan, juga terjadi penambahan, Karena lemahnya
manusia.
Jadi, bila terjadi suatu
perbedaan dalam menafsiri al-Quran, memahami hadits, adalah suatu hal yang
wajar, mengingat sejarah tafsir al-Quran dan hadits sebagaimana sejarah yang
dikemukakan diatas. Bila ada sejarah versi lain, Monggo tak masalah, asalkan, sekali lagi, perbedaan dalam memahi
al-Quran dan hadits jangan sampai menimbulkan pertengkaran, peseturuan,
pembunuhan. Karena semua itu sudah jelas dilarang oleh Allah melalui kitab suci
al-Quran.
Bagi mereka yang masih suka
melakukan persturuan, pertengkaran dan pembunuhan karena beda pemahaman dalam
memahami al-Quran dan hadits, maka mereka tak ubahnya seperti binatang.
*Gubernur Senat
Mahasiswa (SEMA) Fak. Syariah
IAIN Sunan Ampel
Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar