Oleh: Marlaf Sucipto
Berbangga hatilah kita sebagai
warga Indonesia, umur kemerdekaan republik ini sudah tergolong tua. 67th
kita sudah merdeka. Merdeka dari penjajahan fisik bangsa asing. Merdeka dari
kesewenang-wenangan negeri lain. Merdeka dari segela tindakan yang memperbudak
penduduk negeri sebagaimana telah dilakukan Jepang dimasa penjajahan. Dan yang
paling penting merdeka karena kebebasan berserikat, berpendapat, memeluk agama
sesuai dengan keyakinan masing-masing, menentukan sikap atas nasib diri sendiri
dan orang lain menuju keadilan sosial dan kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara.
Kebebasan diatas tidak sepenuhnya
didapat waktu negeri ini dikendalikan oleh penjajah, Belanda, Jepang, Inggris,
Portugis sempat saling menyerang untuk memperebutkan negeri kaya sumber daya alam
ini. Toh walaupun Belanda menjajah tak kurang dari 350th, negeri ini
sampai kini, masih terkenal jauh sampai ke ujung dunia, akan kekayaan alamnya
yang luar biasa. Spektakuler. Luar biasa. Tidak ada negera yang seberuntung
Nusantara. Dulu, kini, dan nanti.
Dari kebanggaan-kebanggaan
diatas, ada persoalan bersama yang mesti kita hadapi. Yaitu kemiskinan dan kebodohan. Ujung pangkal dari segala kejadian
yang tak ber prikemanusiaan dan ber-pri keadilan karena dua persoalan diatas. Karena
miskin kita mau melakukan apa saja agar dapur tetap ‘ngepul’. Karena bodoh kita mudah dibodohi, di intimidasi, diperas. Dan,
karena bodoh dan miskin berkumpul jadi satu dalam karakter jiwa mayoritas masyarakat
negeri ini. Kita yang bodoh suka membodohi, yang miskin memiskinkan yang lain. Dan
tindakan-tindakan distruktif lain yang justru tidak menguntungkan perjalanan
panjang penduduk negeri ini. Ahirnya yang terjadi, saling ‘memangsa’ diantara
kita menjadi hal biasa.
Saatnya kedepan, agar kekayaan
negeri ini benar-benar bisa kita rasakan, mari yang bodoh jangan suka
membodohi, yang miskin jangan suka memiskinkan yang lain. Semangat
persaudaraan, persatuan jadikan penyeru untuk menghadapi persoalan-persoalan
negeri yang terus berkelindan menuju perbaikan taraf hidup yang layak dan bisa
menikmati kekayaan negeri sendiri, kalau boleh kekayaan negeri lain juga bisa kita
nikmati secara bijak.
Jika masih ada yang suka
membodohi, walaupun otaknya cerdas, pintar, dan lulusan sekolah yang paling
tinggi. Bagi saya masih termasuk orang yang bodoh. Karena masih suka membodohi
yang bodoh. Kemiskinan juga demikian. Jika masih ada orang yang suka memeras
dan melakukan tindakan lain yang membuat orang lain miskin, bagi saya itu
termasuk orang yang miskin. Miskin jiwanya, miskin solidaritasnya, miskin
persatuan dan kesatuannya, miskin hati nuraninya, dan miskin akal budi
pekertinya.
Bersatu kita teguh, apabila kita
benar bersatu dalam memberantas kebodohan, bersatu dalam mengentaskan
kemiskinan, bersatu dalam membasmi parasit-parasit yang menghambat kemajuan negeri.
Parasit bisa jadi koruptor, manipulator, mafia narkoba dan narkotika,
bangkir-bangkir nakal, m pelaku perdagangan manusia (Trefikking), pelaku illegal loging, dan sederet profesi dari kelas
atas-bawah yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sikap sifat itulah yang
menjadi ‘musuh’ kita bersama. Musuh dalam arti, bilamana kita menemui orang
yang punya sikap sifat tersebut, mari bahu membahu untuk menyadarkan mereka
dengan sikap sifat kita yang mulia dan serahkan kepada proses hukum untuk
mendapatkan keadilannya.
Memaknai persatuan dalam konteks
kekinian, seharusnya lebih kepada bagaimana kita bersatu untuk menjadi pribadi
yang kreatif nan produktif. Bukan menjadi pribadi yang konsumtifismenya tinggi,
malasnya tinggi, tidak produktifnya juga tinggi. Bersatu agar pola pikir kita
tidak hanya berfikir bagaimana mendapatkan, memiliki, mengenakan, memakai,
mengkonsumsi segala macam brand dunia
yang ditawarkan dan disajikan sangat sering didepan mata telanjang kita. Tapi juga
bersatu bagaimana kita bisa turut serta memproduksi, menciptakan brand, agar produk kita turut bersaing
dalam percaturan bisnis dunia, kalau perlu menguasai dunia sebagaimana negeri
China kini. Tapi lagi-lagi, karena kita masih bodoh, persatuan kita, masih
dimaknai bersatu dalam konteks mengkomsumsi produk negeri lain tanpa batasan
wajar, dan kebanggaan-kebanggan naïf ketika kita telah mengenakan produksi
negeri luar dengan brand
internasional. Mari, sadarlah sedari detik ini, untuk memaknai persatuan dan
kesatuan kita kedepan, bersatu dalam aspek meningkatkan kreatifitas anak
negeri, meningkatkan produktifitas anak negeri, dan yang juga tidak kalah
penting, menomorsatukan kebanggaan kita pada kreatifitas dan produktifitas
negeri sendiri, juga menomorsatukan
segala kebutuhan konsumsi sehari-hari kita pada produk hasil cipta karya bangsa
sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang mengawali, siapa lagi?
Disinilah, makna persatuan dan
kesatuan, sebagaimana sila ke-3 dalam Pancasila, bisa kita wujudkan dalam
bentuk nyata.
Dirgahayu Indonesia…..
Merdeka…!!!
0 komentar:
Posting Komentar