Sabtu, 04 Desember 2010

FIRASAT

-->
Oleh: Noviana Herliyanti*

 “Benar Pak, selain orangnya ganteng, kaya, Pak Jamal baik lagi. Buktinya kemarin waktu saya kesana di kasih uang. Ya, saya gunakan buat bawa Siti ke rumah sakit”. Aku bercuap-cuap tentang kebaikan Pak Jamaluddin, salah satu calon pemimpin Jawa Timur. Yah, hari ini fotoku berada di salah satu koran nasional. Dan hari ini tak hanya tetangga yang berkumpul di rumahku. Tapi, beberapa wartawan meluangkan waktu demi mendengarkanku berceloteh. Weleh-weleh, bersyukur sekali aku mengenal salah satu putra Pak Jamaluddin, Den Fahad. Berkat mereka aku jadi mendadak terkenal. Hehehe aku terkikik geli sendiri.


Krek, krek, aku memutar tubuhku lelah. Ternyata lelah juga ya melayani wartawan, pantas saja Mas Baim Wong emosi saat meladeni pertanyaan Mas Wartawan. Habis mereka maksa sih. Tapi seneng juga, besok pasti fotoku ada lagi. Hehehe, kembali aku terkekeh. Istriku menggeleng-geleng menyaksikanku terkekeh sendiri.

Hari ini ayudan Pak Jamal menjemputku, katanya aku harus ikut berkumpul dengan Tim suksesnya Makmur, Jamaluddin dan Murdana. Yah, sejak mengenal Pak Jamal aku telah berniat gabung dengan Pak Jamal. Semangat 45 mengiringi kepergianku.
“Hati-hati Pak”. Kata istriku. Aku berjalan di gagah-gagahkan, mobil telah menunggu di ujung gang.
“Bapak-bapak yang terhormat, mohon do’a dan dukungannya agar saya bisa jadi memimpin Jawa Timur dengan baik. Jika saya menang nanti saya akan berusaha menjadikan jawa timur makmur, anak-anak bisa sekolah gratis, kalian bisa ke rumah sakit tanpa biaya, BBM turun, bla…bla……bla……”. Aku mendengarkan pidato Pak Jamal takjub. Pak Jamal sangat baik ya. Sampai-sampai dia akan menyediakan sekolah dan rumah sakit gratis pula. 
“Saya hanyalah manusia biasa, kesuksesan saya adalah kesuksesan anda juga. Saya akan memberikan kartu anggota khusus yang bisa kalian gunakan untuk pengobatan gratis, sekolah anak-anak kalian gratis, dan anda juga bisa mengajak keluarga untuk datang ke pariwisata tanpa bayar. Dengan kartu itu anda akan dipermudah untuk melakukan sesuatu”. Dan tak lama kemudian kartu anggota itu pun tersebar. Aku menerima dengan berlinangan air mata. Terbayang anak-anakku akan bersorak. Aku membayangkan anak-anaknya sekolah tanpa biaya bulanan yang melilit, tak perlu cari pinjaman lagi saat penyakit Siti kumat. Aku akan membawa anak-anak mengelilingi tempat wisata. Terbayang senyum istriku bangga. Aku masih terus melamun saat Pak Satpam menepuk pundakku. Aku tersadar, orang-orang di sekelilingku lenyap.

Aku menghempaskan tubuh ringkih di atas kursi rotan yang sudah mulai lapuk di makan usia. Serasa mau patah kakiku berjalan dari Posko makmur ke rumah yang lumayan jauh. Aku terpaksa pulang jalan kaki karena mobil yang membawa anggota tim sukses tadi telah lenyap. Untuk naik angkot pun tak kutemukan uang di saku baju. Tapi aku tetap tersenyum senang saat istriku menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Capek Pak! Apa saja tadi isi rapatnya pak?”. Aku hanya tersenyum, aku tak ingin memberi tahu dulu sampai istriku benar-benar penasaran.
“Bapak ditanya kok malah senyum-senyum sih!”. Akhirnya istriku penasaran. Ku tujukkan kartu anggota serba bisa pada istriku, sambil menikmati kopi buatan istriku. Hemm….mm nikmatnya. Dan aku pun menjelaskan tentang mamfaat dan kegunaan kartu anggota itu, tanpa lupa menyelipkan pujian diantara penjelasanku.
“Hati-hati pak. Ibu takut”. Kata istriku pelan.
“Ibu takut apa to? Dikasih fasilitas kok takut”. Kataku heran.
“Ibu takut ini uang panas kayak di tipi-tipi itu. Uang hasil korupsi”.
“Ibu ini gimana sih, Pak Jamal itu orangnya baik, tak mungkin beliau ngasih uang korupsi sama kita”. Tandasku tak senang.
“Ya sudah hati-hati saja, Ibu Cuma takut”. Tambah Istriku beranjak pergi. Karena capek akhirnya Akupun terlelap di kursi rotan tua ini. Dan mimpi indah pun datang menawarkan kenikmatan.

Keesokan harinya, Aku dengan Tim sukses lainnya, mulai berkoar, berkampanye. Aku ikut berkeliling ke berbagai kota menyertai rombongan Pak Jamal. Dan tak lupa orang-orang di ajaknya untuk memilih Pak Jamal di pemilihan Gubernur nanti. Ia juga ikut membagikan kaos dan sembako. Di saat aku sibuk membagi sembako. Di lain tempat, setitik do’a mengalir bersama deraian air mata.
“Ya Allah, lindungilah suamiku. Jagalah ia selalu. Semoga apa yang dia lakukan menjadi kebaikan. Dan Pak Jamal benar-benar bisa memimpin Jawa Timur ini”. Kemudian ia mengakhiri sholatnya dengan do’a panjang. Rasa ketakutannya selalu membuatnya was-was.
“Mak, besok Anton mau beli buku tulis. Buku tulisnya sudah penuh”. Anton duduk di pangkuan Ibunya manja. Rohmah istri Ahmad mengiyakan permintaan anak ketiganya.

Aku pulang dengan keletihan di setiap sekujur tubuhku. Tapi, itu tak menghentikanku untuk bercerita tentang perjalanan kampanye tadi. Sambil menikmati oleh-oleh yang kubawa, anak-anakku berceloteh riang. Rohmah mendengarkan ceritaku dengan senyum dipaksakan. Rasa was-wasnya tak berkurang meski mata telah menyaksikan betapa ceria wajahku hari ini. Entahlah, apa sih yang membuatnya terlalu takut. Padahal ia tahu sendiri kalau Pak Jamal sudah sangat baik.
Ah, sudahlah persetan dengan semuanya. Akupun beranjak melenturkan seluruh tubuhku yang penat.
“Aaaaaaaaa………..” Teriakan menggema di setiap sudut rumah yang tak terlalu mewah ini. Rohmah, serentak terjaga oleh teriakan suaminya.
“Pak, pak, kenapa?” Ia mengguncang tubuh suaminya perlahan. Dan menyodorkan segelas air putih pada suaminya. Ahmad tergagap, peluh membanjiri sekujur tubuhnya.
Ahmad menggeleng, dan kembali merobohkan tubuhnya saat istrinya menanyakan perihal mimpinya. Ahmad memang memejamkan mata tapi ingatannya masih terbayang darah, luka menganga dan sebuah belati menancap di tubuhnya. Semuanya memang mimpi, tapi………..Ah, mungkin tadi aku lupa baca do’a. hiburnya.
Pemilihan gubernur tinggal menghitung hari. Aktivitasku semakin padat. Sering kali aku pulang hanya sekedar berganti baju atau istirahat sejenak. Setelah itu berangkat lagi. Dan Rohmah hanya menjawab ‘sibuk’ saat anak-anaknya mulai bertanya kemana bapaknya.
Beberapa hari ini bengkel suamiku tutup. Pelanggan sering datang ke rumah mempertanyakan keberadaannya. Tapi apa daya, aku tak berhak melarang suamiku ikut Pak Jamal hanya karena kekhawatiranku yang tak beralasan, batin Rohmah.
“Pak, Pak Mahmud dan Pak Irawan tadi kesini nanyain bapak”. Rohmah memulai perbincangan malam itu sambil menemani anak-anaknya belajar.
“Mau gimana lagi Bu, bapak masih sibuk. Ntar lagi bapak mau ke Sumenep daerah ujung timur pulau Madura. Maklumlah Bu, pemilihan kan tinggal menghitung hari. Bapak harus terus berkampanye mumpung ada kesempatan”. Rohmah hanya mengangguk lesu. Uang belanja hanya cukup untuk besok pagi. Tapi untuk minta tak tega rasanya melihat kelelahan terbayang di wajah tirus suaminya.
“Bu, ini ada uang untuk belanja besok pagi”. Aku mengangsurkan beberapa lembar uang ratusan ke tangannya. Rohmah bergetar menerima uang itu. Baru kali ini ia memegang uang sebanyak ini. Ia menghitungnya, 1 juta.
“Bapak dapat dari mana uang sebanyak ini?” suaranya pun ikut bergetar. Anak-anaknya berhambur menyaksikan uang di tangan ibunya.
“Itu uang kerja keras bapak selama ini, kalau Pak Jamal menang kita akan di kasih lebih banyak dari itu”. Aku menghisap rokok pelan.
“Tapi pak?.........”
“Sudah pakai saja, kalau ada lebihnya di simpan, jangan lupa anak-anak di kasih”. Sejenak darah, luka, dan belati terlintas di benaknya. Tapi, terhapuskan oleh sorak-sorai kegirangan dari anak-anaknya.
“Hore, hore, hore, “.Rohmah tak tega rasanya merusak keceriaan di mata anak-anaknya. Ia masih menimbang bimbang uang di tangannya. Apa ini uang halal? Tapi suamiku bekerja? Bukankah Pak Jamal baik? Tapi, kabar santer beberapa hari yang lalu….? Pak Jamal terlibat indikasi penggelapan uang hutan kayu. Namun saat ia bertanya pada suaminya. Suaminya hanya menjawab pendek.
“Itu hanya gosip dari saingannya Pak Jamal”.
Ia menghela nafas pendek. Ia tak akan menggunakan uang itu sebelum semuanya jelas. Kata hatinya mantap.
“Ah, kurang ajar mereka. Awas saja kalau ketahuan orangnya. Ku cincang dia”. Tiba-tiba suaminya mencerocos dan mengomel panjang pendek saat memasuki rumah. Rohmah yang sedang menggoreng kerupuk cepat-cepat mengecilkan kompornya.
“Astaghfirullah bapak ada apa? Pulang-pulang kok langsung marah-marah?”. Rohmah tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.
“Ah, Timnya pak Mahmud berbuat curang Bu. Masak dia tega-teganya memfitnah Pak Jamal”. Ahmad menyebutkan salah satu kandidat, saingan Pak Jamal. Rohmah hanya mengelus dada.
“Nggak mungkin orang sebaik Pak Jamal menghamili orang Gresik itu”. Sambil mengomel panjang pendek suamiku pun berlalu.

Aku mengelap peluh di keningnya. Meski udara di malam hari dingin tapi tetap saja tak membuatku terbebas dari keringat. Aku memanjati sebuah pohon yang beringin yang memampang sebuah tulisan. “Jamaluddin penghisap perawan’. Ini pohon ketiga yang ia panjat untuk mengambil tulisan serupa. Tanpa sengaja ia mendengar suara teman-temannya di bawah.
“Meskipun uang yang kita dapatkan dari menempel tulisan ini lebih banyak dari pada buruh. Tapi aku takut Pin, Takut dosa”.
“Tapi mau gimana lagi Man, anak dan istri kita butuh makan. Lagi pula kita kan Cuma jadi pekerja. Walaupun sebenarnya aku takut juga”.
“Ya sudahlah, anggap saja kita tidak tahu. Yang penting tugas kita hanya memasang dan membongkar kembali tulisan-tulisan ini”. Timpal salah seorang lagi di antara mereka. Aku terhenyak . Apa maksud dari memasang dan mencopot tulisan ini lagi? Bukannya tulisan ini kerjaannya orang-orangnya Pak Mahmud untuk memfitnah Pak Jamal? Jangan-jangan………Belum habis kebingungannya, tiba-tiba Den Fahad memanggilku. Aku membuntutinya dengan takdzim.
Pak Jamal mempersilakanku makan. ‘Pak Jamal orang baik dan jujur, beliau tak mungkin berbuat hal sepicik itu’. Aku pulang dengan hati bimbang dan bahagia. Bimbang tentang peristiwa tadi dan bahagia karena tadi Den Fahad membagikan amplop. Walaupun ia belum membuka isinya tapi ia yakin isinya tak mungkin hanya sekedar 20.000. Anak-anaknya pasti bersorak kegirangan lagi.
“Pak, Ibu bukannya menuduh, tapi perasaan Ibu tak tenang tiap kali bapak pergi, firasat ibu tak enak akhir-akhir ini, apalagi bapak pulang membawa banyak uang sebanyak ini”. Ungkap istriku yang kesekian kalinya.
“Yah, namanya juga kerja, Bu. Pasti to bapak pulang bawa uang. Sudah Bapak lagi capek, mau istirahat dulu”. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya ada perasaan was-was yang mendera. Tapi, cepat ia singkirkan baying-bayang itu.
“Pak, beberapa hari yang lalu di Tipi ada berita jelek tentang Pak Jamal”. Istri Ahmad masih membuntuti suaminya ke kamar.
 “Ah, sudahlah Bu, itu hanya fitnah dari orang-orang yang tak menyukai Pak Jamal”.
Meski ada perasaan tak nyaman di hatiku, tetap saja aku tak terima jika bos yang baik hati itu harus di tuduh macam-macam. Ahmad membatin.
“Itu kan baru dugaan, makanya Ibu jangan suka nonton gosip”. Tambahnya lagi. Dan seperti biasa Rohmah menyimpan uang pemberian suaminya di bawah lipatan baju di lemarinya. Hatinya merasa tetap tak tenang untuk menggunakannya. 
Hari yang mendebarkan akhirnya tiba juga. Prediksi sementara Pak Mahmud menang. Tapi aku tak yakin, aku tetap percaya pada keyakinanku bahwa Pak Jamal yang akan menenangkan pilgub ini. Hatiku berdebar, mataku tak pernah lepas dari tayangan sebuah televisi swasta yang menayangkan tentang proses penghitungan suara pilgub, aktivitas baruku.           

Aku mendengus marah saat orang-orang di kampung mengelu-elukan Pak Mahmud. Cuih, apanya sih yang hebat. Pak Mahmud itu orangnya sombong, gak ada baik-baiknya deh. Lihat saja nanti, Pak Mahmud pasti tersungkur menelan kecewa.
Dan penghitungan pun berakhir. Nanti malam adalah keputusan akhir. Sejak sore aku sudah mandi, berpakaian rapi. Setelah sholat maghrib aku cepat-cepat beranjak ke Posko. Tepat jam 20.00 wib semua berkumpul di depan Televisi, tak ada seorang pun yang bersuara. Mereka tak ingin melewatkan malam bersejarah ini.
“Pemirsa, hari ini adalah keputusan akhir, siapakah yang akan memimpin Jawa Timur ini.” Setiap mata menatap tajam pada satu titik, televisi.
“Setelah melalui berbagai proses dan penghitungan suara akhirnya di putuskan bahwa yang akan memimpin kota santri ini adalah………..”. Nafas mereka tertahan ditenggorokan.
“Akhirnya yang akan terpilih adalah pasangan Pak Jamaluddin dan bla…bla…bla..”. Hore..hore, seluruh penghuni posko berteriak kegirangan. Aku sujud syukur dengan bergelimang air mata. Kemenanganpun  dirayakan. Aku ingin mengucapkan selamat pada Pak Jamal di ruangannya. Tapi, tanpa sadar aku menangkap suara orang-orang bercakap-cakap.
“Terima kasih pak sudah mau menutup kasus saya. Kalau tidak ada bapak pasti sekarang saya sudah mendekam di penjara”. Tak salah lagi, itu suara pak Jamal.
“Sama-sama Pak. Lagi pula kalau tidak mengambil uang dari pemerintah dari mana lagi kita dapat modal untuk memenangkan persidangan itu, untung Hakimnya bisa kita sogok”. Dan tawapun berderai. Sogok, hakim? Tiba-tiba terlintas ketakutan istriku. Jadi, berita itu?
“Anton, cepat singkirkan perempuan dari Gresik itu. Aku tidak mau semua orang tahu bahwa janin yang sedang dikandungnya adalah anakku”. Duarr..petir tak hanya ada di langit, tapi kini telah memenuhi hatinya….Jadi selama ini uang yang selalu di kuperoleh benar-benar dari hasil…………? Dan perempuan dari Gresik itu….Terngiang nasehat istriku, ketakutannya istriku, firasat……
Tuhan, maafkan aku. Air mataku luruh. Jadi selama ini aku berjuang untuk………? Mau jadi apa negara ini kalau pemimpinnya sudah sebiadab ini. Aku begitu terhipnotis dengan janji gubernur. Terpesona oleh lahiriyah yang ternyata menyimpan telaga api. Aku menangis, ah Tuhan maafkan aku atas kelalaianku. Aku beranjak pulang. Aku ingin mendekap istriku, menangisi penyesalan yang mungkin telah terlambat. Aku tak akan pernah menginjakkan kakiku kembali di tempat terkutuk ini, janjiku.
Ahmad menyusuri jalan dengan bergelimang air mata dan penyesalan serta kebencian tak terhingga dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia tak sadar bahwa di balik pohon beringin seberang jalan, dua orang sedang mengawasinya. Hatinya berdegup kencang, luka itu menganga. Kepercayaannya, pengorbanannya, imannya. firasat istrinya……..
“Sepertinya ini saat yang tepat”. Lelaki berjaket kulit mengangguk saat temannya mulai melangkah perlahan. Ia ikut meraba belati yang terselip di pinggangnya. Malam ini akan ada korban lagi….
Surabaya/23/03/2009

*lahir 1 Desember 1988 di Batang-batang Sumenep, alumnus  PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Beberapa tulisan cerpen, puisi, resensinya telah dimuat di koran harian Seputar Indonesia (SINDO), Duta Masyarakat, Radar Madura, Radar Surabaya, NU Online (PB.NU Jakarta) dan Tabloid Infokom Sumenep. Mahasiswi Fak. Tarbiyah jurusan Kependidikan Islam Konsentrasi Bimbingan Konseling (BK) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini aktif, sebagai Anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur dan aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya. Cerpen ini dimuat di Jurnal Nasional Jakarta 05 Desember 2010
Share:

0 komentar:

Profil

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Ruang ekpresi dan kreasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Surabaya. Untuk menampung seluruh kegiatan dan karya-karya tulis sebagai media informasi alumni annuqayah daerah surabaya yang sesuai dengan visi dan misinya.

Arsip